Friday, 28 May 2010

We Won’t Say Goodbye to Ali


That evening, we took Ali to the airport. Previously, we begin the journey of Ali's house. Akhui Salah, Abang Ismail, Uncle Saif, Dikra, and me was ready to leave. We waited for Ali shower and get ready. The wind at that time so hectic, I got really scared. But Salah was there beside me. Hm, it seems to be heavy rain. But, I loved it. I like the way the Lord gives his people the grace from this rain.
 
Ali was ready. We had to get off. Ali will leave this house for three months. Ismail is someone special who will really miss Ali later. We surround Ali, staring at him in detail. Ismail was being poured water for Ali. See, how harmonious they are.

We've left home. Ensure the door is locked properly. I followed Abang Ismail out into the elevator door. There has been waiting, two Chinese people, will also go down. Ali's portmanteau has been confirmed safe, Uncle Saif and Akhui Salah has brought them. Dikra was together with Salah. Ah, if they both are together, I no longer dare to be close. What's wrong between them? HAHAHA, sssstttttttt... (back to the topic)

The elevator doors opened, we entered flock. I was standing closest to the elevator button. I ask anyone who wants to answer. My forefinger was ready to press the button comely. "Where're we going?". Uncle Saif replied innocence, "Go to the airport". HAHA, my teeth were arrested for not laughing. All who are in the elevator glanced at Uncle Saif, spontaneous we laughed heartily.

In the mind of a grown-up like Uncle Saif, proved to have a great imagination to the elevator. Imagine, if we can be anywhere without the need for a taxi and plane, to go wherever we like. Any place, any country. What a distance does not mean in the term. No need to bother with unimportant things like passports and visas. The solution, pressed the elevator which can go anywhere.
Subway Tropicana City Mall,
 18 May 2010

he's leaving us.. (KLIA)

Monday, 17 May 2010

when I got fever

We're talking on the balcony of his house this morning. He told me about Dwyane Wade, Carmelo Anthony, Lebron James, Jason Kidd, Duncan, Chris Webber, Eddie Jones and many more. I thought we were talking about the football last night. Because in my mind there is still Barca won 4:0 Valladolid.
I innocently said him, "Wow, are they all MU players in the past?" Swing! He stroked my head gently. He said, "Uhm, I supposed to give you paracetamol with high doses. Since when has NBA players on the team MU?"
HAHAHA :D

Monday, 3 May 2010

Selamat Tinggal, Dani

Dani menculikku dengan sukses. Security di hostel memang payah. Sudah dua minggu aku menghilang, tapi tak ada yang berusaha mencari aku. Ini pasti akal-akalan Dani. Dia memang punya kuasa atas itu semua. Aku benci ketidakadilan ini. Aku benci Dani.

Aku disembunyikan dirumahnya. Di kawasan sekitar Port Dickson. Jauh dari Kuala Lumpur. Jauh dari hostelku. Rumah ini selayaknya istana. Dibentengi tembok yang mustahil bisa aku panjat. Hanya ada satu gerbang utama. Tapi tak terlintas dipikiranku untuk keluar melewati pintu itu. Bagiku, bunuh diri lebih baik daripada melarikan diri sia-sia. Tidakkah aku ini pecundang.

Aku menunggu janji Dani untuk melepas diriku baik-baik. Dia yang bertanggung jawab atas segala yang terjadi pada diriku seutuhnya. Dani dan aku masih punya perjanjian. Aku akan dipertemukan dengan ibunya minggu depan. Mereka sudah menyiapkan sebuah private dinner antara aku dan nyonya besar itu. Beliau ingin bicara empat mata denganku. Betapa rumitnya proses ini, aku lelah.

Terlelap aku di sofa kabin. Tulang-tulangku seakan hampir patah setelah seharian kupelajari table manner dan sebagainya. Aku memang generasi instant. Bukan mustahil aku bisa menguasai teknik dan taktik menjengkelkan ini. Aku sedang bermimpi.

Dani ada disampingku ketika aku terbangun. Entah sejak kapan dia memandangi aku tidur. Aku sudah berada dikamar sekarang. Tak kuhiraukan Dani. Aku bangun dan menuang segelas air. Kuteguk lega. Hilang dahagaku.

Aku sudah akan beranjak meninggalkan kamar. Dani membenarkan posisi duduknya. Ia bersandar pada ranjang dengan bantal dipunggungnya. Ia memegang surat perjanjian kami. Aku tertarik. Ku urungkan niat keluar dari kamar ini. Aku berbalik arah. Duduk disamping Dani. Lebih intim.

Hening.

“Pensi. Masih sayang sama Dani?” Suaranya serak lemah.

Aku malas menjawab. Ku sandarkan punggungku menjauhi Dani. Memandangi sekeliling. Belum juga Dani mengerti rupanya. Rasa ingin ku sudahi semua sandiwara ini. Aku ingin lekas pulang. Dan melanjutkan hidupku. Normal.

“Dani..” Nadaku tak kalah lembut. “Semua sudah berakhir, Sayang.”

“Siapa yang bilang!! Pensi mutusin sepihak. Itu gak fair. !!” Dani berteriak tiba-tiba.

Emosinya sangat tidak stabil kali ini. Aku hanya memandangi. Kubiarkan ia mengeluarkan sumpah serapahnya. Terserah. Aku tak akan marah. Aku tahu, Dani sangat lemah pada dasarnya. Ia tumbuh dengan kelainan daya imunitas dalam tubuhnya. Ia rapuh. Ia sakit.

Dani mulai tidak waras. Makin kuat ia memaki aku. Ia membabi buta. Dilemparnya apapun yang ada didekatnya. Ditendangnya segala atribut disekelilingnya. Aku tak tahan. Aku berdiri. Spontan menampar wajah tampannya. Dani diam.

Ku ambilkan segelas air. Ku berikan kepada Dani. Ia menghabiskannya. Dani lebih tenang sekarang. Matanya merah. Nafasnya tersengal-sengal. Ia pasti sangat lelah. Berat sekali yang dipikirkannya. Dia membutuhkan seseorang untuk menemani. Akukah itu?

Aku berdiri disisi Dani. Kuredakan amarahnya. Dirangkulnya perutku. Aku tak bisa menghindar. Dia semakin kuat saja memelukku. Dani menangis. Dia menyesal. Tapi semua tetap saja sudah berakhir bagiku. Aku punya kehidupan baru kini.

Dani harusnya bisa sepertiku. Tak peduli sekeras apa mencoba. Tak peduli rasa sakit yang mampu membunuh hati. Kita manusia yang tegar. Ku yakinkan hal itu pada Dani.

Kugenggam tangan Dani. Kucium dengan lembut. Aku menghormatinya tanpa mengabaikan cintaku. Siapa bilang aku tak menyayanginya lagi. Rasaku masih sama seperti dulu. Masih seperti 6 tahun yang lalu. Ketika Dani meninggalkan aku. Sendirian di tepi Port Dickson. Sepi.

Dani mulai sayu. Kubaringkan ia di ranjang. Akupun turut disampingnya. Kami saling berpandang. Aku tersenyum. Kami bercerita, mengenang masa lalu. Memori yang sungguh indah. Nyaris sempurna untuk anak manusia seperti kami. Aku bahagia.

Dani tertidur. Aku beranjak. Tak ada alasan aku berlama-lama di rumah ini. Aku bukan putri instant. Bukan pula milik Dani lagi. Ku bawa serta surat perjanjian itu. Aku pergi diam-diam. Heran, tak ada halangan apapun mencegahku. Aku bebas. Aku pulang.

Sturbucks Tropicana Mall, KL.

Monday, 3 May 2010.