Hey, nak. Aku mamamu. Ah, tersadar aku telah menjadi pribadi yang berbeda sejak hadirnya anak itu. Anak yang sebenarnya bukan dari rahimku. Ah, bukan anakku. Walau begitu, diriku tertuju hanya kepada segala di dirinya. Pikiranku seutuhnya mencari jalan untuk mendapatkannya. Hatiku terusik dalam. Ada rasa khawatir dan harapan untuk membawanya pulang. Dia bagian dari hidupku yang kini. Uang, rumah dan mobil-mobilku adalah materi kosong jika dibandingkan ia. Buah hati sahabatku, Cut Azzahra dan Fachrouk Diaby, cintaku.
Ini bukan peperangan antar-sahabat. Aku hanya sedang berperang di jalur hukum melawan pengadilan. Ku pertaruhkan semua dayaku pada kemenangan atas rasa kecewa dan penghianatan. Ini ku lakukan untuk janjiku pada Cut Azzahra binti Eumar, sahabat dan penyebab diriku masuk dalam cerita ini. Namun, ini juga kulakukan untuk Fachrouk Diaby, atas cintaku yang begitu besar sekaligus rasa sakit yang indah.
Maka, aku bertaruh untuk seurat nadiku kepada si mungil. Dianya yang masih terlalu kecil tanpa ibu dan hilang lepas dari sang ayah. Bayi yang dilahirkan 4 bulan lalu. Tetapi cerita yang mengingatkan aku kembali kemasa lalu, dalam sebuah kabar pernikahan. Karena setelah itu, aku menghilangkan diri ke negeri Piramida.
Hari ini, aku duduk menikmati persidangan. Seperti menyeruput kopi dan menyantap roti dengan selai kacang di pagi hari. Aku menunggu sidang ini dimulai. Dua pengacaraku telah siap dengan segala berkas dan apapun, aku tak peduli. Pikiran mereka terpusat dan penuh konsentrasi, kulihat dari wajah-wajah mereka yang serius tapi tenang. Berjuanglah, teman.
Bayi itu juga ada disana. Seorang pengasuh menggendongnya ramah. Si mungil melihat padaku. Senyumnya melengkung senang. Air mukanya penuh harapan. Aku suka matanya yang teduh. Bibirnya seperti meneriaki aku menang. Dia mengedipkan mata. Alamak, bayi kecil itu seperti tau apapun tentangku. Dia cerminan diriku 21 tahun yang lalu. Si Noversia kecil, Diaby Noversia.
Aku tahu pengadilan ini memakan waktu lama dan melelahkan. Meski untuk mendapatkan bayi laki-laki itu seorang, pikiran, tenaga dan hartaku terkuras. Tapi aku akan puas dan puas. Tak ada tujuanku bernafas di dunia ini selain Diaby. Obsesiku merawat dan membesarkannya adalah besar dan sungguh-sungguh. Aku mulai mencintai Diaby. Ini cinta ibu kepada putranya. Cinta Maryam kepada Isa. Ah, aku lupa. Aku juga tidak seperti Maryam.
Dulu, aku terlahir dengan kondisi seperti ini. Ayah angkatku mempertaruhkan dirinya untuk kemenangan sebuah penghianatan. Tunangannya pergi dan menikahi lelaki lain. Hatinya seketika beku. Mimpi dan tujuan hidupnya menguap begitu saja. Dia putuskan untuk terbang ke Singapura dan menyibukkan diri dalam bisnisnya disana. Hingga kabar kecelakaan itu datang meresahkan hidupnya. Ia kembali untuk diriku yang belum genap setahun. Aku kehilangan mereka, ibu dan bapak kandungku. Dan bayi kecil sepertiku, bertahun-tahun beradaptasi dengan sidang pengadilan. Tapi hatiku damai, ada ayah di sampingku.
Ini bulan April, sudah tujuh bulan Diaby bersamaku. Aku belum memenangkan dia. Tapi aku boleh mengasuhnya, setidaknya sampai keputusan itu 100% berpihak kepadaku. Aku begitu optimis dalam hal ini. Diaby, oh, Diaby.
Diaby mengembalikan nafasku. Dia menggoreskan warna terang pada hatiku yang padam. Kini aku punya semangat baru yang berkobar-kobar. Maha dasyat jika dibandingkan Fachrouk dulu. Aku bersyukur pada Tuhan. DIA memberiku kesempatan untuk anugerah terbaik, Diaby.
Aku sedang menggendong Diaby. Kami bercanda ria di balkon apartemenku. Ada beberapa mainan Diaby berserakan disana, aku tak peduli. Aku menggoda Diaby. Memikirkan akan kemana kami merayakan hari yang indah esok. Ya, besok tepatnya, genap setahun umur Diaby. Dan tidak kebetulan, besok juga ialah hari ulang tahunku, 25 April. Ada cerita tolol di 25 April setahun yang lalu. Sahabatku, ah, mantan sahabatku, Azza ku panggil namanya, melahirkan anak pertamanya sekaligus terakhir.
Sore itu, Fachrouk membawanya pada sebuah rumah bersalin di Jakarta Pusat. Azza siap melahirkan. Dia berkontraksi cukup hebat. Aku tak tau bagaimana ceritanya sampai Azza tak bisa melahirkan di 24 April. Ha, ni lucu.
Azza kembali berkontraksi di malam harinya. Ia berteriak kesakitan. Bodoh, sifat keras kepalanya muncul tiba-tiba. Putri Aceh itu hanya mau melahirkan setelah pukul 12 malam. Dia ingat seseorang. Dia menyebut namaku. Fachrouk jengkel, ia tak tega melihat istri pilihannya itu kesakitan. Dia ingat seseorang. Itu aku.
Waktu itu, pukul 11 malam di Indonesia. Melalui Facebook, Fachrouk mencoba menghubungiku. Ia menulis banyak hal di dinding FB-ku. Ia tak dapat menelfonku. Ia pun tak tau dimana aku. Sayang, aku tidak sedang bersama laptopku dan online.
Aku duduk di pinggiran Sungai Nil bersama saudari-saudari Indonesia yang sedang belajar di Mesir. Hari masih sore. Tiba-tiba, handphone ku berdering. Dari Ahmed, temanku. Dia kabarkan dinding FB-ku yang sudah penuh dengan tulisan Fachrouk. Ahmed berharap, aku pulang ke Indonesia secepatnya. Dan ku jawab, “Na’am, akhui”. Lalu, ku matikan handphone dan bercanda ria menikmati Sungai Nil lagi.
Andai, Azza tak senekat itu. Ia pasti masih hidup sekarang dan menggendong Diaby seperti aku. Diaby membutuhkan ibu yang mengandungnya 9 bulan. Bukan aku. Diaby, seharusnya disusui dari ASI ibunya. Bukan susu kaleng dariku. Diaby merindukan pelukan hangat ibu, seperti ketika ia dikandung Azza. Ah, lagi-lagi, bukan aku.
Aku masih saja menggendong Diaby. Ini sudah larut. Diaby sudah tertidur sejak tadi. Tapi aku senang menggendongnya. Aku menatap langit dari kaca apartemenku. Malam ini begitu damai bersama Diaby. Langit tampak ramai dengan bintang-bintang. Aku mencium Diaby dan membaringkan ia di tempat tidurnya. Ia tersenyum. Khas !. Entah bermimpi apa ia sekarang, aku menciumnya lagi. Ha, anak ini lucu.
Hawa kantuk menguasai diriku. Aku membereskan beberapa barang dan menyusun beberapa pakaian Diaby dan aku kedalam koper. Pagi-pagi Diaby dan aku akan meninggalkan Jakarta. Besok kami menemui ayah. Dan merayakan ulang tahun Diaby disana. Di Singapura.
Ini bukan peperangan antar-sahabat. Aku hanya sedang berperang di jalur hukum melawan pengadilan. Ku pertaruhkan semua dayaku pada kemenangan atas rasa kecewa dan penghianatan. Ini ku lakukan untuk janjiku pada Cut Azzahra binti Eumar, sahabat dan penyebab diriku masuk dalam cerita ini. Namun, ini juga kulakukan untuk Fachrouk Diaby, atas cintaku yang begitu besar sekaligus rasa sakit yang indah.
Maka, aku bertaruh untuk seurat nadiku kepada si mungil. Dianya yang masih terlalu kecil tanpa ibu dan hilang lepas dari sang ayah. Bayi yang dilahirkan 4 bulan lalu. Tetapi cerita yang mengingatkan aku kembali kemasa lalu, dalam sebuah kabar pernikahan. Karena setelah itu, aku menghilangkan diri ke negeri Piramida.
***
Hari ini, aku duduk menikmati persidangan. Seperti menyeruput kopi dan menyantap roti dengan selai kacang di pagi hari. Aku menunggu sidang ini dimulai. Dua pengacaraku telah siap dengan segala berkas dan apapun, aku tak peduli. Pikiran mereka terpusat dan penuh konsentrasi, kulihat dari wajah-wajah mereka yang serius tapi tenang. Berjuanglah, teman.
Bayi itu juga ada disana. Seorang pengasuh menggendongnya ramah. Si mungil melihat padaku. Senyumnya melengkung senang. Air mukanya penuh harapan. Aku suka matanya yang teduh. Bibirnya seperti meneriaki aku menang. Dia mengedipkan mata. Alamak, bayi kecil itu seperti tau apapun tentangku. Dia cerminan diriku 21 tahun yang lalu. Si Noversia kecil, Diaby Noversia.
***
Aku tahu pengadilan ini memakan waktu lama dan melelahkan. Meski untuk mendapatkan bayi laki-laki itu seorang, pikiran, tenaga dan hartaku terkuras. Tapi aku akan puas dan puas. Tak ada tujuanku bernafas di dunia ini selain Diaby. Obsesiku merawat dan membesarkannya adalah besar dan sungguh-sungguh. Aku mulai mencintai Diaby. Ini cinta ibu kepada putranya. Cinta Maryam kepada Isa. Ah, aku lupa. Aku juga tidak seperti Maryam.
Dulu, aku terlahir dengan kondisi seperti ini. Ayah angkatku mempertaruhkan dirinya untuk kemenangan sebuah penghianatan. Tunangannya pergi dan menikahi lelaki lain. Hatinya seketika beku. Mimpi dan tujuan hidupnya menguap begitu saja. Dia putuskan untuk terbang ke Singapura dan menyibukkan diri dalam bisnisnya disana. Hingga kabar kecelakaan itu datang meresahkan hidupnya. Ia kembali untuk diriku yang belum genap setahun. Aku kehilangan mereka, ibu dan bapak kandungku. Dan bayi kecil sepertiku, bertahun-tahun beradaptasi dengan sidang pengadilan. Tapi hatiku damai, ada ayah di sampingku.
***
Ini bulan April, sudah tujuh bulan Diaby bersamaku. Aku belum memenangkan dia. Tapi aku boleh mengasuhnya, setidaknya sampai keputusan itu 100% berpihak kepadaku. Aku begitu optimis dalam hal ini. Diaby, oh, Diaby.
Diaby mengembalikan nafasku. Dia menggoreskan warna terang pada hatiku yang padam. Kini aku punya semangat baru yang berkobar-kobar. Maha dasyat jika dibandingkan Fachrouk dulu. Aku bersyukur pada Tuhan. DIA memberiku kesempatan untuk anugerah terbaik, Diaby.
***
Aku sedang menggendong Diaby. Kami bercanda ria di balkon apartemenku. Ada beberapa mainan Diaby berserakan disana, aku tak peduli. Aku menggoda Diaby. Memikirkan akan kemana kami merayakan hari yang indah esok. Ya, besok tepatnya, genap setahun umur Diaby. Dan tidak kebetulan, besok juga ialah hari ulang tahunku, 25 April. Ada cerita tolol di 25 April setahun yang lalu. Sahabatku, ah, mantan sahabatku, Azza ku panggil namanya, melahirkan anak pertamanya sekaligus terakhir.
Sore itu, Fachrouk membawanya pada sebuah rumah bersalin di Jakarta Pusat. Azza siap melahirkan. Dia berkontraksi cukup hebat. Aku tak tau bagaimana ceritanya sampai Azza tak bisa melahirkan di 24 April. Ha, ni lucu.
Azza kembali berkontraksi di malam harinya. Ia berteriak kesakitan. Bodoh, sifat keras kepalanya muncul tiba-tiba. Putri Aceh itu hanya mau melahirkan setelah pukul 12 malam. Dia ingat seseorang. Dia menyebut namaku. Fachrouk jengkel, ia tak tega melihat istri pilihannya itu kesakitan. Dia ingat seseorang. Itu aku.
***
Waktu itu, pukul 11 malam di Indonesia. Melalui Facebook, Fachrouk mencoba menghubungiku. Ia menulis banyak hal di dinding FB-ku. Ia tak dapat menelfonku. Ia pun tak tau dimana aku. Sayang, aku tidak sedang bersama laptopku dan online.
Aku duduk di pinggiran Sungai Nil bersama saudari-saudari Indonesia yang sedang belajar di Mesir. Hari masih sore. Tiba-tiba, handphone ku berdering. Dari Ahmed, temanku. Dia kabarkan dinding FB-ku yang sudah penuh dengan tulisan Fachrouk. Ahmed berharap, aku pulang ke Indonesia secepatnya. Dan ku jawab, “Na’am, akhui”. Lalu, ku matikan handphone dan bercanda ria menikmati Sungai Nil lagi.
***
Andai, Azza tak senekat itu. Ia pasti masih hidup sekarang dan menggendong Diaby seperti aku. Diaby membutuhkan ibu yang mengandungnya 9 bulan. Bukan aku. Diaby, seharusnya disusui dari ASI ibunya. Bukan susu kaleng dariku. Diaby merindukan pelukan hangat ibu, seperti ketika ia dikandung Azza. Ah, lagi-lagi, bukan aku.
Aku masih saja menggendong Diaby. Ini sudah larut. Diaby sudah tertidur sejak tadi. Tapi aku senang menggendongnya. Aku menatap langit dari kaca apartemenku. Malam ini begitu damai bersama Diaby. Langit tampak ramai dengan bintang-bintang. Aku mencium Diaby dan membaringkan ia di tempat tidurnya. Ia tersenyum. Khas !. Entah bermimpi apa ia sekarang, aku menciumnya lagi. Ha, anak ini lucu.
Hawa kantuk menguasai diriku. Aku membereskan beberapa barang dan menyusun beberapa pakaian Diaby dan aku kedalam koper. Pagi-pagi Diaby dan aku akan meninggalkan Jakarta. Besok kami menemui ayah. Dan merayakan ulang tahun Diaby disana. Di Singapura.
***
691-08-01, Desa Kiara Condo.
Kuala Lumpur, 16 April 2010.
Kuala Lumpur, 16 April 2010.
No comments:
Post a Comment